Investasi di sektor pertambangan adalah investasi yang membutuhkan dana yang sangat besar, dengan risiko kegagalan yang tinggi serta jangka waktu pengembalian investasi yang panjang. Oleh karena itu kepastian ketentuan stabilitas fiskal termasuk perpajakan menjadi sangat penting bagi pemodal.
Pemodal membutuhkan stabi- litas ketentuan fiskal untuk menjamin pengembalian investasi sesuai skenario awal. Stabilisasi ketentuan fiskal menjamin bahwa ketentuan perpajakan yang berlaku tidak akan berubah selama periode kontrak. Masalah pentingnya stabilitas ketentuan fiskal ini, dapat kita lihat dalam kasus divestasi saham PT Freeport Indonesia (Freeport).
Ketentuan perpajakan sektor pertambangan
Ketentuan pemajakan di sektor ini biasanya dapat dibagi menjadi 2 bagian besar yaitu sistem konsesi dan sistem kontrak. Penerapan di Indonesia mengambil sistem kontraktual dengan model Contract of Work.
Ketentuan perpajakan sektor pertambangan di Indonesia dibagi sesuai dengan tipe perizinan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Sebelum berlakunya Undang-undang Pertambangan dan Mineral no. 4 tahun 2009 (UU Minerba), perizinan pertambangan dapat dibagi menjadi dua yaitu Kuasa Pertambangan dan Kontrak Karya. Ketentuan perpajakan dalam Kuasa Pertambangan mengikuti ketentuan umum sesuai aturan dalam peraturan perpajakan, sedangkan ketentuan pemajakan dalam Kontrak Karya, mengikuti ketentuan khusus yang diatur di dalam kontrak.
Setelah dikeluarkannya UU Minerba tahun 2009, perizinan pertambangan hanya dikeluarkan dalam bentuk Izin Usaha Pertambangan (IUP). Ketentuan perpajakan dalam IUP mengikuti ketentuan yang berlaku umum. Meskipun tidak ada lagi Kontrak Karya yang dikeluarkan, kontrak yang sudah ada akan tetap berlaku sampai dengan periode kontrak berakhir, termasuk juga ketentuan khusus perpajakan dalam kontrak tersebut.
Ketentuan Peraturan Pemerintah no. 37 tahun 2018
Pemerintah baru saja mengeluarkan Peraturan Pemerintah no. 37 tahun 2018 (“PP 37”) tanggal 1 Agustus 2018 mengenai Perlakukan Perpajakan dan/atau Penerimaan Negara Bukan Pajak di bidang Usaha Pertambangan Mineral. PP 37 diterbitkan sesuai dengan amanat Pasal 31D Undang-undang Pajak Penghasilan bahwa ketentuan perpajakan bagi bidang usaha tertentu seperti bidang usaha pertambangan umum termasuk batu bara diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
Hal yang menarik dari PP 37 ini adalah ketentuan ini berlaku bagi semua IUP, IUP Khusus (IUPK), IPR dan juga Kontrak Karya. Lebih lanjut, ketentuan PP 37 bahkan diberlakukan juga bagi IUPK Operasi Produksi yang merupakan perubahan bentuk Usaha Pertambangan dari Kontrak Karya yang belum berakhir kontraknya, termasuk juga Kontrak Karya.
Ketentuan perpajakan yang diatur secara khusus dalam PP 37 ini meliputi penerimaan dan biaya-biaya yang dapat dibebankan untuk menghitung pajak penghasilan. Terdapat ketentuan perpajakan khusus bagi IUPK Operasi Produksi dari perubahan Kontrak Karya. PP 37 ini juga memberikan kepastian bahwa bagi Kontrak Karya yang masih berlaku, ketentuan khusus pemajakannya akan tetap berlaku sampai dengan berakhirnya kontrak.
Pemerintah tampaknya ingin agar semua ketentuan perpajakan merujuk kepada aturan yang berlaku dalam peraturan perundang-undangan, tidak di dalam ketentuan kontrak. Hal ini bertujuan untuk mengurangi potensi sengketa pajak atas penafsiran ketentuan yang berlaku antara kontrak dan aturan umum.
Pemodal membutuhkan stabi- litas ketentuan fiskal untuk menjamin pengembalian investasi sesuai skenario awal. Stabilisasi ketentuan fiskal menjamin bahwa ketentuan perpajakan yang berlaku tidak akan berubah selama periode kontrak. Masalah pentingnya stabilitas ketentuan fiskal ini, dapat kita lihat dalam kasus divestasi saham PT Freeport Indonesia (Freeport).
Ketentuan perpajakan sektor pertambangan
Ketentuan pemajakan di sektor ini biasanya dapat dibagi menjadi 2 bagian besar yaitu sistem konsesi dan sistem kontrak. Penerapan di Indonesia mengambil sistem kontraktual dengan model Contract of Work.
Ketentuan perpajakan sektor pertambangan di Indonesia dibagi sesuai dengan tipe perizinan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Sebelum berlakunya Undang-undang Pertambangan dan Mineral no. 4 tahun 2009 (UU Minerba), perizinan pertambangan dapat dibagi menjadi dua yaitu Kuasa Pertambangan dan Kontrak Karya. Ketentuan perpajakan dalam Kuasa Pertambangan mengikuti ketentuan umum sesuai aturan dalam peraturan perpajakan, sedangkan ketentuan pemajakan dalam Kontrak Karya, mengikuti ketentuan khusus yang diatur di dalam kontrak.
Setelah dikeluarkannya UU Minerba tahun 2009, perizinan pertambangan hanya dikeluarkan dalam bentuk Izin Usaha Pertambangan (IUP). Ketentuan perpajakan dalam IUP mengikuti ketentuan yang berlaku umum. Meskipun tidak ada lagi Kontrak Karya yang dikeluarkan, kontrak yang sudah ada akan tetap berlaku sampai dengan periode kontrak berakhir, termasuk juga ketentuan khusus perpajakan dalam kontrak tersebut.
Ketentuan Peraturan Pemerintah no. 37 tahun 2018
Pemerintah baru saja mengeluarkan Peraturan Pemerintah no. 37 tahun 2018 (“PP 37”) tanggal 1 Agustus 2018 mengenai Perlakukan Perpajakan dan/atau Penerimaan Negara Bukan Pajak di bidang Usaha Pertambangan Mineral. PP 37 diterbitkan sesuai dengan amanat Pasal 31D Undang-undang Pajak Penghasilan bahwa ketentuan perpajakan bagi bidang usaha tertentu seperti bidang usaha pertambangan umum termasuk batu bara diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
Hal yang menarik dari PP 37 ini adalah ketentuan ini berlaku bagi semua IUP, IUP Khusus (IUPK), IPR dan juga Kontrak Karya. Lebih lanjut, ketentuan PP 37 bahkan diberlakukan juga bagi IUPK Operasi Produksi yang merupakan perubahan bentuk Usaha Pertambangan dari Kontrak Karya yang belum berakhir kontraknya, termasuk juga Kontrak Karya.
Ketentuan perpajakan yang diatur secara khusus dalam PP 37 ini meliputi penerimaan dan biaya-biaya yang dapat dibebankan untuk menghitung pajak penghasilan. Terdapat ketentuan perpajakan khusus bagi IUPK Operasi Produksi dari perubahan Kontrak Karya. PP 37 ini juga memberikan kepastian bahwa bagi Kontrak Karya yang masih berlaku, ketentuan khusus pemajakannya akan tetap berlaku sampai dengan berakhirnya kontrak.
Pemerintah tampaknya ingin agar semua ketentuan perpajakan merujuk kepada aturan yang berlaku dalam peraturan perundang-undangan, tidak di dalam ketentuan kontrak. Hal ini bertujuan untuk mengurangi potensi sengketa pajak atas penafsiran ketentuan yang berlaku antara kontrak dan aturan umum.
Artikel ini dapat dilihat di Bisnis Indonesia, 10 September 2018